culinary

Selambat Waktu di Iboih

Posted on Updated on

“Sudah ada mobil, Kak?”

Belum sempat turun dari kapal lambat yang mengantar kami dari Banda Aceh, seorang bapak kurus berkulit legam menghampiri kami. Wajahnya tampak keras namun tubuhnya bertutur ramah.

“Belum, Pak.”

Begitu jawab saya yang masih mabuk laut. Kombinasi kapal kelas ekonomi dengan ombak tinggi selama 2,5 jam benar-benar bukan pilihan tepat untuk orang yang sehari-hari hidup di aspal datar. Saya, Olla, dan Tyas kemudian mengikuti si bapak turun dari dek menuju lahan parkir pelabuhan. Wangi tanah sehabis hujan membuat saya mengawang. Teduh langit dan ramah sore tidak memberi kesempatan para tamu untuk merasa asing. Tidak satu kali pun.

Karcis Kapal Lambat.
Karcis Kapal Lambat

Sepakat dengan harga Rp. 30.000 per orang, bapak legam mengantar kami menuju sebuah kijang kotak 90an. Pengemudi kami bernama Bang Ibrahim. Si Abang bertubuh padat, bingkai wajah presisi, dan hemat pandang kepada wanita; tipikal pemuda Aceh pada umumnya. Kijang abu-abu tanpa pendingin dikemudikan cepat melintasi Pulau Weh. Empat puluh menit gaya sirkuit kamu lewati dengan hati gembira. Gembira karena kembali berada di daratan. Penginapan kami, Iboih Inn ternyata terletak di ujung lain Pulau Weh. Jalur mobil terhenti di Pantai Iboih. Di sana lah kami melambaikan rupiah sambil mengucap terima kasih kepada Bang Ibrahim. Senja bersambut dan kami pun melanjutkan perjalanan dengan complimentary boat dari Iboih Inn selama 5 menit.

Desa Iboih punya banyak penginapan. Dari Pantai Iboih, silakan trekking 15 menit untuk tiba ke ujung pulau. Sepanjang perjalanan, anda akan menjumpai penginapan, rumah makan, tempat sewa alat snorkeling, sampai toko souvenir. Jalannya naik turun dengan garis pantai di sebelah kanan. Para bungalow berdiri tanpa mengindahkan kontur tanah yang membukit. Ya, Pulau Weh adalah kolaborasi cantik antara bukit,  hutan, danau, dan pantai.

Guk guk sahabat manusia
Anjing yang ingin ikut kami jalan-jalan

Pilihan kami jatuh ke kamar nomor 11 yang harganya ramah untuk ditiduri bertiga. Menghadap pantai, namun masih terhalang pepohonan. Setiap pagi, monyet-monyet bertengger di pohon sekeliling kamar. Cukup untuk membuat saya bergumam,

“This is where the wild things are…”

Breakfast buffet digelar di restoran milik Iboih Inn, Camoe Resto. Menu sederhana, namun lengkap dan istimewa di lidah saya. Nasi goreng, kering tempe, dadar telur, pisang adabi, ubi ungu goreng. Ditutup dengan segarnya semangka potong dan hangatnya teh manis.

Pojok-pojok di Iboih Inn
Pojok-pojok di Iboih Inn

Di sini, waktu seperti melambatkan pukulnya. Ibu pemilik penginapan tampak santai bermain dengan kucing-kucing peliharaannya. Dua malam di Iboih, pagi kami selalu mendung. Mendung dan santai. Teduh dan semilir. Rasa-rasanya malas beranjak dari meja makan jika tidak ada janji dengan Bang Rahmat, guide snorkeling kami.

Selambat Waktu di Iboih
Selambat Waktu di Iboih

Ketika matahari mulai muncul, Ibu pemilik penginapan menegur kami yang malas-malasan.

“Kalian mau snorkeling kan  hari ini? Ayo cepat bertindak! Mumpung sudah tidak mendung.”

Kami pun lompat dari kursi, naik ke kamar dan mengambil handuk untuk snorkeling. Bang Rahmat tak lama datang dengan boat-nya. Lokasi snorkeling kami sebenarnya tak jauh. Tepat di depan Iboih Inn, ada Pulau Rubiah yang digadang-gadang sebagai salah satu spot snorkeling dan diving terbaik di Indonesia. Pantai di Iboih dan Rubiah memang bukan pantai berpasir. Namun di bawah lautnya tersimpan sea garden yang membuat mulut menganga. Tidak sampai 10 meter dari bibir pantai Rubiah, kami yang hanya snorkeling sudah bisa berenang bersama segerombolan ikan warna-warni. Melongok ke bawah, kami disambut bangkai mobil yang sepertinya sudah puluhan tahun tertidur di perairan Rubiah.

“Di sini kenang-kenangannya hanya foto bawah laut, Dek. Jangan sampai nyesal nanti kalau tidak sewa kamera sama Abang”

Begitulah strategi marketing Bang Rahmat ketika kami meragu untuk sewa underwater camera. Kami pun terbeli oleh rayunya. Usai berenang-renang manis bersama Bang Rahmat dan asistennya, kami justru bersyukur mengeluarkan uang Rp. 150.000 untuk sewa kamera yang ternyata mumpuni itu. Bagaimana tidak, bawah laut Rubiah benar-benar seramai pasar malam!

Pasar Malam Laut Rubiah
Pasar Malam Laut Rubiah

Jeda antar snorkeling kami habiskan dengan mengudap sate gurita. Penganan ini memang sudah saya incar sejak dari ibukota. Sepiring gurita disajikan dalam tusukan kayu, diguyur saus kacang pedas, tak lupa ditabur serpihan emping sebagai pelengkap. Harganya standar turis lokal, Rp. 16.000 satu porsi. Rasanya gurih, kenyal, dan pedas. Dua piring tandas seketika oleh kami bertiga. Melihat kami lahap, Bang Rahmat yang penuh semangat tidak membiarkan kami memesan piring ketiga.

“Ayo, Dek! Nyelam lagi!”

Sate Gurita, Bang Rahmat, dan Mobil Karam
Sate Gurita, Bang Rahmat, dan Mobil Karam

Tidak percaya kalau waktu melambat di Iboih? Sudah lelah berenang, nyelam bolak-balik, foto sejuta gaya, dan makan sate gurita, ternyata baru pukul 12 siang. Kami menyerah karena sudah lelah dan memutuskan untuk pulang ke penginapan. Selanjutnya, kami menghabiskan sore dengan berjalan-jalan sekitar desa dan berakhir kembali di Camoe Resto bersama piring-piring berisi pisang goreng adabi bertabur butiran karamel yang meleleh di mulut.

P.S: Jika anda mengetik “penginapan iboih sabang” di mesin pencari kesayangan, maka website Iboih Inn akan muncul di urutan kedua, tepat di bawah website pemerintah kota Sabang. Iboih Inn sendiri merupakan penginapan dengan harga yang tergolong premium jika dibandingkan dengan cottage-cottage di sekitarnya. But it’s totally worth the price.